Pengertian Hukum Pajak Dan Sketsa Asas
HUKUM PAJAK SUATU SKETSA ASAS
Dalam Buku Yang Ditulis Dr. Suparnyo, SH. MS
- Pengertian Hukum
Pajak
1. Pengertian
Secara Global
Hukum
selalu berada di tengah-tengah masyarakat, tidak lepas dari kehidupan manusia.
Oleh karena itu, membicarakan hukum tidak dapat lepas dari membicarakan
kehidupan manusia atau pun kehidupan bermasyarakat. Di dalam kehidupan
bermasyarakat, manusia yang satu selalu berhubungan dengan manusia yang lain.
Hubungan tersebut akan menimbulkan interaksi yang dapat berupa hubungan yang
menyenangkan atau selaras dan dapat juga menimbulkan interaksi yang saling
bertentangan atau menimbulkan konflik. Hubungan antar manusia yang selaras atau
pun yang menimbulkan konflik tersebut disebabkan karena adanya kepentingan
manusia yang satu dengan yang lain berbeda dan kadang-kadang sama.
Konflik
yang terjadi akibat hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain harus
dicegah dan tidak dibiarkan terus berlangsung atau berlarut-larut. Manusia akan
selalu menghendaki agar tatanan dalam masyarakat selalu seimbang dan tertib,
aman dan damai. Keseimbangan, ketertiban, keamanan dan kedamaian tersebut dapat
diwujudkan apabila terdapat norma atau kaidah yang menjadi pedoman untuk
bertingkah laku atau bertindak, agar tingkah laku atau tindakan itu tidak
merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman, tuntutan, patokan,atau
ukuran untuk bertindak dan bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat tersebut
disebut dengan norma atau kaedah sosial (Sudikno Mertokusumo, 1988 : 1-4).
Kaedah atau norma sosial merupakan pedoman atau tuntunan bagaimana seseorang
harus bertingkah laku, bersikap, atau bertindak dan bagaimana seseorang
dianjurkan untuk bertindak, bersikap atau bertingkahlaku dan perbuatan,
tindakan atau sikap yang bagaimana yang tidak boleh dilakukan.
Di
dalam pergaulan masyarakat terdapat bentuk-bentuk kaedah atau norma sosial yang
tumbuh dan berkembang serta diataati yaitu kaedah atau norma keagamaan, kaedah
kesusilaan, kaedah kesopanan dan kaedah hukum. Kaedah keagamaan ditujukan
kepada manusia dalam kehidupan keagamaan untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
yaang Maha Esa. Kaedah ini memberikan pedoman, patokan, tuntunan untuk
bertingkah laku dalam hubungannya dengan Tuhan, dirinya sendiri dan sesama
manusia yang lain. Kaedah kesusilaan memberikan pedoman, patokan, tuntunan
bagaimana seseorang harus atau dianjurkan untuk bertingkah laku, bertindak
dalam hubungannya dengan manusia lain yang menyangkut kehidupan pribadi
manusia. Pendukung kaedah kesusilaan ini adalah nurani individu dan bukan dalam
status manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang
terorganisir. Kaedah kesopanan memberikan pedoman, tuntunan dan patokan kepada
manusia untuk bersikap demi tertibnya kehidupan bermasyarakat dan bertujuan
untuk menciptakan perdamaian antar manusia yang bersifat lahiriah (Sudikno
Mertokusumo, 1988 : 8). Dari ketiga kaedah tersebut masyarakat belum merasa
terlindungi apabila kaedah atau norma sosial tersebut dilanggar. Oleh karena
itu, dirasa perlu adanya norma lain yang lebih memberikan kepastian, keadilan
dan kemanfaatan, sehingga muncullah kaedah yang lain yaitu kaedah atau norma
hukum. Kaedah atau norma hukum tersebut melindungi kepentingan-kepentingan
manusia lebih lanjut dari perlindungan yang belum didapat dari ketiga kaedah
atau norma sosial yang lain. Kaedah atau norma hukum tersebut dalam pergaulan
kemasyarakatan disebut dengan hukum, yang memuat suatu penilaian mengenai
perbuatan tertentu, yang nampak dalam bentuk suruhan atau perintah dan larangan
serta adanya ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
Menurut
Radbruch, hukum harus mengandung nilai-nilai dasar yaitu kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan atau kegunaan (zweekmaszigkeit). Jadi suatu hukum yang
dibentuk harus mewujudkan adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta
menuju pada keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan dan oleh
karenanya digolongkan ke dalam norma kultur (Satjipto Rahardjo, 1996 : 27).
Jadi
hukum pada umumnya adalah keseluruhan atau kumpulan peraturan-peraturan atau
kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama, yang pelaksanaannya dapat
dipaksakan dengan adanya kekuatan sanksi.
Definisi
lain dari hukum dikemukakan oleh van Vollenhoven yang mengemukakan bahwa hukum
adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam
keadaan bentur membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya (C.
van Vollenhoven, 1981: 6). Lemaire mengatakan, hukum itu mempunyai banyak segi
serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin
membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif (van Apeldoorn, 1983
: 13). Dari berbagai pengertian hukum sebagaimana diuraikan di atas maka dapat
diketahui bahwa hukum mempunyai banyak dimensi yang sulit untuk disatukan,
karena masing-masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar
pengertian hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) pengertian dasar
(Satjipto Rahardjo, 1986: 6), yaitu : Pertama, hukum dipandang sebagai kumpulan
ide atau nilai abstrak, sehingga konsekuensi metodologinya adalah bersifat
filosofis. Kedua, hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan yang abstrak,
sehingga fokus perhatiannya pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar
otonom, yang bisa dibicarakan sebagai subjek tersendiri terlepas dari kaitannya
dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya
adalah bersifat normatif-analitis. Ketiga, hukum dipahami sebagai sarana/alat
untuk mengatur masyarakat, sehingga metodologinya adalah metode sosiologis.
Hukum sebagai kumpulan peraturan mempunyai isi yang bersifat umum (karena
berlaku bagi setiap orang, tidak pandang bulu) dan normatif (karena menentukan
apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus
dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada
kaedah-kaedah). Jadi, hukum mengandung aturan-aturan yang memuat perintah,
larangan dan juga memberikan wewenang. Dalam hukum yang penting bukanlah apa
yang terjadi (sein), tetapi apa yang seharusnya terjadi (sollen).
Montesquieu
menyampaikan gagasannya mengenai bagaimana membuat hukum yang baik, yang
intinya dikatakan bagaimana seharusnya hukum itu dibuat adalah sebagai berikut
(Allen, 1964 : 467 – 468, Satjipto Rahardjo, 1996 : 180) :
1)
Gaya penuturannya atau uraian kalimatnya hendaknya padat dan sederhana;
2)
Istilah-istilah yang dipilih dan dipakai sedapat mungkin bersifat mutlak dan
tidak relatif, sehingga mempersempit atau meminimalisir kemungkinan adanya
perbedaan pendapat;
3)
Hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang aktual, menghindari penggunaan
perumpamaan atau bersifat hipotetis;
4)
Hendaknya tidak dibuat rumit, sebab dibuat untuk orang kebanyakan, jangan
membenamkan orang ke dalam persoalan logika, tetapi sekedar bisa dijangkau oleh
penalaran orang kebanyakan;
5)
Janganlah masalah pokok yang dikemukakan dikaburkan oleh penggunaan
perkecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali memang benar-benar
diperlukan;
6)
Jangan berupa penalaran (argumentative);
7)
Isinya hendaknya dipikirkan secara masak terlebih dahulu serta janganlah
membingungkan pemikiran serta rasa keadilan biasa dan bagaimana umumnya sesuatu
itu berjalan secara alami.
Meskipun
pendapat tersebut telah dikemukakan lebih dari dua ratus tahun (dalam “L Esprit
des Lois “, 1748), namun pendapat ini masih patut juga untuk disimak. Kehadiran
hukum di dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengelola, mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama
lain dalam pergaulan masyarakat. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan
cara mengalokasikan dan mengkoordinasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk
bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut disebut dengan hak.
Hadirnya
hukum dalam pergaulan masyarakat mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Dari
beberapa literatur dapat disimpulkan adanya beberapa teori tentang tujuan
lahirnya atau dibentuknya hukum, yaitu (Esmi Warassih, 2005 : 24-25) :
1)
Teori Etis
Menurut
teori ini, hukum semata-mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Menurut
penganut teori ini, hakikat keadilan itu terletak pada penilaian terhadap suatu
perlakuan atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak
yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.
Aristoteles
membedakan keadilan ke dalam 2 (dua) macam, yaitu keadilan distributif
(justisia distributive) dan keadilan komutatif (justisia commutative). Keadilan
distributif menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya,
sedangkan keadilan komutatif menghendaki agar setiap orang mendapatkan hak yang
sama banyaknya (keadilan) yang menyamakan (Esmi Warassih, 2005 : 24)
2)
Teori Utilitarian
Penganut
teori ini di antaranya adalah Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa tujuan
hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah
yang sebanyak-banyaknya (the greates good of the greatest number). Pada
hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan
atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.
3)
Teori Campuran.
Teori
ini berpendapat bahwa tujuan hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu
ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Di
samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan
secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat pada
zamannya.
Berbagai
tujuan yang hendak diwujudkannya dalam masyarakat melalui hukum yang dibuat
itu, sekaligus menyebabkan tugas maupun fungsi hukum pun semakin beragam.
Secara garis besar tujuan-tujuan tersebut meliputi pencapaian masyarakat yang
tertib dan damai, mewujudkan keadilan, serta untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan atau kesejahteraan (Esmi Warassih, 2005 : 27). Tujuan hukum
tersebut dapat dicapai dengan cara mengalokasikan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban.
Hak
yang dimiliki seseorang selalu berhadapan dengan kewajiban yang harus dilakukan
oleh pihak lain, sehingga hak selalu berhadapan dengan kewajiban. Hak itu
memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya,
sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban, sehingga yang menonjol
adalah segi aktif dalam hubungan hukum itu, yaitu hak (Knottenbelt, 1979 : 47).
Hak dan kewajiban bukan merupakan kumpulan peraturan atau kaidah, melainkan
merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang
tercermin pada kewajiban pihak lawan. Hak dan kewajiban ini merupakan
kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum. Jika dibandingkan dengan
hukum atau peraturan, maka hukum sifatnya adalah umum karena berlaku bagi
setiap orang, sedangjkan hak dan kewajiban lebih bersifat individual, dan
melekat pada individu.
Ciri-ciri
dari hak yang diberikan oleh hukum adalah sebagai berikut (Fitzgerald, 1966 :
221, Satjipto Rahardjo, 1996 : 55) :
1)
Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut dengan pemilik atau subjek dari
hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang
menjadi sasaran dari hak.
2)
Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban.
Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
3)
Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pada pihak lain untuk melakukan
(commission) atau tidak melakukan (ommission) sesuatu perbuatan.
4)
Commission atau ommission menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai objek
dari hak.
5)
Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu
yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
Hak-hak
dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok (Curzon, 1979 : 218 – 219, Satjipto
Rahardjo, 1996 : 61) sebagai berikut :
1)
Hak-hak yang sempurna dan hak yang tidak sempurna.
Hak
yang sempurna adalah hak yang dapat dilaksanakan melalui hukum seperti kalau
perlu melalui pemaksaan oleh hukum. Hak yang tidak sempurna adalah hak yang
diakui oleh hukum, tetapi tidak selalu dilaksanakan oleh pengadilan, seperti hak-hak
yang dibatasi oleh lembaga daluwarsa.
2)
Hak-hak utama dan tambahan.
Hak
utama adalah hak yang diperluas oleh hak-hak lain, sedang hak tambahan adalah
hak yang melengkapi hak-hak utama, seperti perjanjian sewa menyewa tanah yang
memberikan hak tambahan kepada hak utama dari pemilik tanah.
3)
Hak-hak publik dan perdata.
Hak
publik adalah hak yang ada pada masyarakat pada umumnya,yaitu negara. Hak
perdata adalah hak yang ada pada perorangan, seperti hak seseorang untuk
menikmati barang yang dimilikinya.
4)
Hak-hak positif dan negatif.
Hak
positif menuntut dilakukan perbuatan-perbuatan positif dari pihak tempat
kewajiban korelatifnya berada, sepperti hak untuk menerima keuntungan pribadi.
5)
Hak-hak milik dan pribadi.
Hak-hak
milik berhubungan dengan barang-barang yang dimiliki oleh seseorang yang
biasanya bisa dialihkan. Hak-hak pribadi berhubungan dengan kedudukan seseorang
yang tidak pernah bisa dialihkan. Berikutnya mengenai kewajiban dapat
dikelompokkan sebagai berikut : (Curzon, 1979 : 215 – 216 dan Satjipto
Rahardjo, 1996 : 61).
1)
Kewajiban-kewajiban yang mutlak dan nisbi.
Menurut
Austin, kewajiban yang mutlak adalah kewajiban yang tidak mempunyai pasangan
hak, seperti kewajiban yang tertuju kepada diri sendiri; yang diminta oleh
masyarakat pada umumnya; yang hanya ditujukan kepada kekuasaan (sovereign) yang
membawahinya. Kewajiban nisbi adalah kewajiban yang melibatkan hak di lain
pihak.
2)
Kewajiban-kewajiban publik dan perdata.
Kewajiban
publik adalah kewajiban yang berkorelasi dengan hak-hak publik, seperti
kewajiban untuk mematuhi hukum pidana. Kewajiban perdata adalah kewajiban yang
berkorelatif dengan hak-hak perdata, seperti kewajiban yang timbul dari
perjanjian.
3)
Kewajiban-kewajiban yang positif dan yang negatif.
Kewajiban
positif adalah kewajiban yang menghendaki dilakukannya perbuatan positif,
seperti kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembelinya. Kewajiban
negatif adalah kewajiban yang menghendaki agar suatu pihak tidak melakukan
sesuatu, seperti kewajiban seorang untuk tidak melakukan sesuatu yang
mengganggu milik tetangganya.
4)
Kewajiban-kewajiban universal, umum dan khusus.
Kewajiban
universal adalah kewajiban yang ditujukan kepada semua warga negara, seperti
yang timbul dari Undang-Undang. Kewajiban umum adalah kewajiban yang ditujukan
kepada segolongan orang-orang tertentu, seperti orang asing, orang tua (ayah,
ibu). Kewajiban khusus adalah kewajiban yang timbul dari bidang hukum tertentu,
seperti kewajiban dalam hukum perjanjian.
5)
Kewajiban-kewajiban primer dan yang bersifat memberi sanksi.
Kewajiban
primer adalah kewajiban yang tidak timbul dari perbuatan yang melawan hukum,
seperti kewajiban seseorang untuk tidak mencemarkan nama baik orang lain yang
dalam hal ini tidak timbul dari pelanggaran terhadap kewajiban lain sebelumnya.
Kewajiban yang bersifat memberi sanksi adalah kewajiban yang semata-mata timbul
dari perbuatan yang melawan hukum, seperti kewajiban tergugat untuk membayar
gugatan pihak lain yang berhasil memenangkan perkara. Kehadiran hukum pajak
dalam pergaulan masyarakat juga bertujuan untuk menemukan keadilan, ketertiban
dan kedamaian dalam bidang perpajakan, sehingga dalam hukum pajak juga mengatur
tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak, yaitu negara sebagai
pemungut pajak dan rakyat sebagai wajib pajak. Jadi pihak-pihak dalam hukum
pajak adalah pihak yang satu, masyarakat yang direpresentasikan oleh negara dan
pihak yang lain adalah warga negara atau perorangan, termasuk di dalamnya
adalah badan. Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang memberikan hak
kepada negara untuk memungut pajak kepada rakyat atau wajib pajak, tanpa ada
imbalan yang langsung dapat ditunjuk, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan
dengan ancaman sanksi dan digunakan untuk biaya rutin dan pembangunan.
2.
Pengertian
Hukum Pajak Secara Spesifik
R.
Santoso Brotodihardjo menyatakan bahwa hukum pajak yang juga disebut hukum
fiscal adalah keseluruhan dari peraturan–peraturan yang meliputi wewenang
Pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada
masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum
publik yang mengatur hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau
badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak (Wajib Pajak). Rochmat
Soemitro menyatakan hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan – peraturan yang
mengatur hubungan hukum antara Pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat
sebagai pembayar pajak. Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan :
(1)
Siapa yang menjadi Wajib Pajak atau subyek pajak;
(2)
Apa kewajiban mereka terhadap Pemerintah;
(3)
Hak – hak Pemerintah;
(4)
Objek-objek yang dikenakan pajak;
(5)
Timbul dan hapusnya hutang pajak;
(6)
Cara penagihan hutang pajak;
(7)
Cara mengajukan keberatan / banding;
(8)
Dan lain-lain.
Dari
kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pajak adalah
termasuk hukum publik (mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang/badan
termasuk badan hukum).
3.
Kedudukan
Hukum Pajak
Di
muka telah dikatakan bahwa hukum pajak adalah sebagian dari hukum publik yaitu
hukum yang mengatur hubungan antara penguasa atau Pemerintah dengan warganya.
Termasuk dalam hukum publik adalah: hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum
Administrasi Negara (sedangkan Hukum Pajak merupakan anak bagian dari Hukum
Administrasi Negara).
Mengenai
kedudukan Hukum Pajak dalam tata hukum Indonesia, PJA. Andriani menyatakan
bahwa bagaimanapun juga lebih tepat memberi tempat sendiri untuk Hukum Pajak di
samping (sederajat dengan) Hukum Administrasi Negara . Dasar pertimbangan
pendapat yang menyatakan bahwa Hukum Pajak harus ditempatkan sejajar dengan
Hukum Administrasi Negara (HAN) tersebut adalah :
1)
Tugas Hukum Pajak bersifat lain dari pada Hukum Administrasi Negara pada
umumnya.
2)
Hukum pajak dapat secara langsung digunakan sebagai sarana politik
perekonomian.
3)
Hukum pajak memiliki tata tertib dan istilah-istilah yang khas untuk bidang
pekerjaannya.
4.
Pembagian
Hukum Pajak
Seperti
halnya pada bentuk hukum yang lain seperti hukum perdata, hukum pidana, maka
Hukum pajak dapat juga dibagi dalam Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak
Formil.
1)
Hukum Pajak Materiil
Hukum
Pajak Materiil adalah kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan dari suatu
peraturan perundang-undangan pajak yang berkenaan dengan isi dari peraturan
perudang-undangan yang bersangkutan. Hukum Pajak Material menerangkan tentang
Subjek, Objek atau tarip Pajak. Di samping itu juga menerangkan arti dari suatu
istilah seperti arti penghasilan / barang kena pajak , bumi dan bangunan,
dokumen , dan sebagainya. Contoh bentuk Hukum Pajak Materiil :
a.
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
b.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan.
c.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah.
2)
Hukum Pajak Formil.
Hukum
Pajak Formil adalah kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan dari suatu peraturan
perundang-undangan pajak yang berkenaan dengan cara bagaimana Hukum Pajak
Materiil dilaksanakan. Contoh bentuk Hukum Pajak Formil adalah :
a.
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
b.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Hukum
Pajak Formil menerangkan tentang hak dan kewajiban wajib pajak, hak dan
kewajiban fiscus, dan lain-lain. Hak wajib pajak dapat dilihat dalam UUKUP,
yaitu :
a.
Meminta restitusi;
b.
Mengajukan keberatan;
c.
Mengajukan banding, dan lain-lain.
Kewajiban
wajib pajak sebagaimana diuraikan dalam UUKUP adalah sebagai berikut :
a.
Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b.
Mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau Surat Pemberitahuan
Obyek Pajak (SPOP) dengan benar; lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
c.
Mengadakan pencatatan atau pembukuan;
d.
Membayar Pajak terhutang wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dan lain-lain.
Hak
Fiskus diatur dalam UUKUP yaitu sebagai berikut :
a.
Melakukan pemeriksaan;
b.
Mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak;
c.
Mengeluarkan Surat Tagihan Pajak;
d.
Mengeluarkan Surat Paksa, dan lain-lain.
Kewajiban
Fiskus yang ditetapkan dalam UUKUP adalah sebagai berikut :
a.
Memberikan Keputusan atas keberatan pajak dari wajib pajak;
b.
Mengembalikan kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak;
c.
Merahasiakan wajib pajak , dsb.
5.
Tugas
dan Sasaran Hukum Pajak
Tugas
dari hukum pajak adalah menelaah keadaan–keadaan dalam masyarakat untuk
kemudian dibuat / disusun peraturan-peraturan hukum (pajak), sedangkan yang
menjadi sasarannya adalah Tatbestand yaitu segala perbuatan keadaan atau
peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak. Selanjutnya muncul pertanyaan,
apakah yang dimaksud dengan utang pajak ? Menurut Hukum Perdata, utang adalah perikatan,
yang mengandung kewajiban bagi salah satu pihak untuk melakukan sesuatu
(prestasi) atau untuk tidak melakukan sesuatu, yang menjadi hak pihak lainnya.
Kewajiban Subjek Hukum sebagai salah satu pihak dalam suatu perikatan akan
berhadapan dengan haknya. Pengertian Utang dalam Hukum Perdata dapat mempunyai
arti luas dan sempit. Utang dalam arti luas adalah segala sesuatu yang harus
dilakukan oleh yang berkewajiban sebagai konsekuensi dari perikatan, seperti
menyerahkan barang, membuat lukisan, dan sebagainya. Dengan kata lain
pengertian utang dalam arti luas ini adalah sama dengan perikatan. Utang dalam
arti sempit adalah perikatan sebagai akibat dari perjanjian khusus yaitu utang
piutang yang mewajibkan debitur untuk membayar (kembali) jumlah uang yang telah
dipinjamnya dari kreditur.
Pajak
atau utang pajak tergolong dalam utang (uang) dalam arti sempit yang mewajibkan
wajib pajak (debitor) untuk membayar suatu jumlah uang dalam kas negara
(kreditor). Jadi utang pajak adalah utang yang timbulnya secara khusus, karena
Negara (kreditor) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas, siapa yang akan
dijadikan debiturnya, seperti dalam hukum perdata. Hal ini terjadi karena utang
pajak timbul karena undang-undang.
- DASAR PEMBENARAN
PEMUNGUTAN PAJAK OLEH NEGARA
Dalam
membicarakan tentang dasar pembenaran pemungutan pajak oleh negara kepada
rakyatnya maka masalah atau pertanyaan yang dihadapi adalah mengapa negara
memungut pajak kepada rakyatnya ? Dengan kata lain dapat dipertanyakan juga,
atas dasar apa negara memungut pajak kepada rakyatnya ? Atau dengan perkataan
lain juga untuk kepentingan siapa pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara
itu, sehingga negara seakan-akan memberi hak kepada diri sendiri untuk
membebani rakyat dengan apa yang disebut pajak itu ? Permasalahan/pertanyaan di
atas sudah dibicarakan sejak abad ke 18 yang ditandai dengan munculnya
teori-teori yang memberikan alasan pembenar bagi negara untuk memungut pajak
dari rakyatnya. Teori-teori tersebut didengung-dengungkan oleh penciptanya maupun
pengikut-pengikutnya kepada anggota masyarakat atau rakyat dengan maksud agar
segala peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pajak dinsafi dan ditaati
berlakunya. Mengenai dasar / alasan pembenar bagi negara untuk memungut pajak
dari rakyatnya dapat dilihat dari dasar atau alasan pemungutan pajak yang dapat
dipisahkan ke dalam :
Pertama,
pemungutan pajak adalah untuk kepentingan pemungut; Kedua, pemungutan pajak
adalah untuk kepentingan yang dipunguti; Ketiga, pemungutan pajak adalah untuk
kepentingan kedua-duanya, yaitu pemungut dan yang dipungut.
- Pemungutan Pajak
untuk Kepentingan Pihak Pemungut
Pemungut
yang dimaksud di sini adalah seperti raja, penguasa atau penjajah. Dasar
pembenar dan dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan antara
rakyat dengan negara. Negara dibentuk karena adanya persekutuan individu
sehingga individu harus membaktikan dirinya pada negara melalui pembayaran
pajak.
Pemungutan
pajak untuk kepentingan pemungut ini didasarkan pada “orgaantheori” dari Von
Gierke yang menyatakan bahwa negara itu merupakan suatu kesatuan yang
didalamnya setiap warga negara terikat, tanpa ada organ atau lembaga (negara)
tersebut maka individu tidak mungkin dapat hidup (Rochmat Soemitro dan Dewi
Kania Sugiharti, 2004 : 29-30).
Lembaga/organ
yang karena memberi hidup kepada warganya tersebut maka ia (raja/penguasa atau
negara) dapat membebani kepada setiap anggota masyarakatnya dengan
kewajiban-kewajiban antara lain adalah kewajiban membayar pajak. Dengan kata
lain seorang warga negara dikatakan berbakti kepada negara, jika rakyat selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban atau sebagai
darma bakti. Rakyat harus membaktikan diri kepada lembaga / organ yang memberi
hidup, sehingga teori ini dikenal dengan TEORI BAKTI.
Menurut
teori ini hakekat negara diterima sebagai suatu organisasi paksaan, sehingga
atas dasar itulah maka rakyat dipungut pajak. R. Santoso Brotodiharjo, SH
menyebut teori bakti ini dengan TEORI KEWAJIBAN PAJAK MUTLAK.
WH.
Van den Berge termasuk penganut teroi ini, menyatakan bahwa negara sebagai :
“Groupsverband” (organisasi dari golongan) dengan memperhatikan syarat-syarat
keadilan bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan
harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya, termasuk juga
tindakan-tindakan dalam lapangan pajak (Santoso Brotodihardjo, 1982 : 31).
- Pemungutan Pajak
untuk Kepentingan Pihak yang Dipungut (Pembayar Pajak)
Pendapat
ini pada dasarnya berasal dari falsafah liberalisme. Dalam falsafah
liberalisme, antara kepentingan rakyat dan kepentingan negara terpisah. Dalam
falsafah liberalisme diajarkan bahwa penyediaan dana-dana yang diperlukan oleh
penguasa negara seharusnya diambil dari harta negara sendiri. Jadi, kalau
negara memungut pajak dari rakyat adalah bukan untuk kepentingan Negara
melainkan justru untuk kepentingan rakyat yang dipungut pajak tersebut. Campur
tangan negara dalam kehidupan rakyat memang dapat dibenarkan, tetapi hanya
terbatas sampai sejauhmana campur tangan itu memang diperlukan guna kepentingan
rakyat. Dari paham liberalisme ini muncul teori-teori pemajakan yang menekankan
bahwa pemungutan pajak adalah untuk kepentingan yang dipungut (rakyat).
Teori-teori tersebut adalah :
1. Teori Badan Umum
Teori
ini menghubungkan hakekat pembayaran pajak sama dengan pembayaran iuran oleh
para anggota dari suatu perkumpulan / badan umum. Kalau suatu badan umum atau
perkumpulan melayani kepentingan anggota-anggotanya maka adalah wajar apabila
anggota-anggotanya tersebut juga membayar iuran, karena pembayaran iuran
tersebut manfaatnya akan kembali lagi pada anggota. Oleh karena itu, pembayaran
pajak oleh warga negara kepada negara tidak lain dan tidak bukan adalah untuk
kepentingan warga negara sendiri seperti halnya pembayaran iuran oleh seorang
anggota pada suatu perkumpulan / badan umum seperti tersebut di atas.
2. Teori Asuransi
Menurut
teori ini hakekat pembayaran pajak adalah sama dengan pembayaran premi asuransi
dalam perjanjian asuransi (pertanggungan). Seseorang yang menutup perjanjian
asuransi pada dasarnya melakukan perbuatan itu adalah untuk kepentingan dirinya
sendiri atau ahli warisnya. Dengan pembayaran premi asuransi oleh tertanggung,
tiada lain adalah dimaksudkan untuk kepentingan dirinya sendiri atau ahli
warisnya. Hal inilah yang dimaksud dengan pemungutan pajak adalah untuk
kepentingan yang dipungut atau pihak yang membayar pajak. Teori asuransi ini
apabila dikaitkan dengan kewajiban pembayaran pajak mengandung
kelemahan-kelemahan, yaitu :
a.
Bila risiko atau kerugian terjadi / dialami oleh si pembayar pajak maka tidak
ada penggantian ganti rugi dari pemerintah kepada pembayar pajak tersebut. Hal
tersebut berbeda dengan prinsip dalam perjanjian asuransi, jika si tertanggung
mengalami kerugian, maka pihak yang menerima pembayaran premi (perusahaan
asuransi atau penanggung) harus membayar ganti rugi kepada pembayar premi
(tertanggung).
b.
Teori ini melupakan adanya unsur paksaan dalam pembayaran pajak.
Dalam
lembaga asuransi yang bersifat keperdataan tidak ada paksaan agar seseorang
akan mengadakan atau membuat perjanjian asuransi dengan pihak perusahaan
asuransi (penanggung), sedangkan dalam pembayaran pajak terdapat unsur paksaan
dari pemungut (pemerintah), wajib pajak (rakyat yang memenuhi syarat membayar
pajak) wajib membayar pajak, dan jika tidak dipenuhi maka dapat diberikan
sanksi (sanksi pidana atau pun sanksi administrasi).
c.
Teori asuransi menggunakan hakekat pembayaran pajak sama dengan pembayaran
retribusi, padahal antara keduanya tidak sama. Pembayar retribusi menerima
balas jasa langsung yang dapat ditunjuk dari pemerintah (misalnya : dalam
pembayaran retribusi parkir, pembayar retribusi mendapat imbal jasa berupa
lahan / tempat untuk parkir, pembayar retribusi sampah maka pembayar retribusi
mendapatkan fasilitas tempat pembuangan sampah, dan lain-lain), sedangkan dalam
pembayaran pajak, pembayar pajak (wajib pajak) yang telah membayar pajak tidak
mendapat balas jasa langsung yang dapat ditunjuk yang diberikan oleh fiscus
atau pemerintah.
3.
Pemungutan
Pajak untuk Kepentingan Pihak Pemungut dan yang Dipungut (Masyarakat)
1.
Teori Daya Beli
Menurut
teori ini fungsi pemungutan pajak jika dipandangnya sebagai gejala sosial dapat
disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari sebagian anggota
masyarakat (rumah tangga-rumah tangga dalam masyarakat) untuk rumah tangga
Negara dan kemudian menyalurkannya (disemprotkan) kembali ke masyarakat (umum)
dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan membawanya ke arah
tertentu. Jadi, negara adalah penyelenggara berbagai kepentingan yang mendukung
kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang
dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan
individu dan juga bukan kepentingan negara, melainkan untuk kepentingan
masyarakat yang meliputi kedua-duanya, yaitu pembayar pajak dan pemerintah.
2.
Teori Deviden
Teori
ini menyatakan bahwa kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat dapat
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Pemungutan pajak adalah pemungutan /
pengambilan harta negara sendiri yang sedang berada di tangan penduduk. Pajak
adalah dividen milik negara. Jadi, negara adalah sebagai pemegang saham. Teori
deviden mengatakan bahwa pada hakekatnya pemungutan pajak oleh negara adalah
sama dengan pengambilan dividen oleh seorang pesero yang menanamkan sahamnya
dalam suatu perusahaan. Jelasnya negara sebagai pemungut pajak merupakan pesero
/ pemegang saham, sedangkan wajib pajak merupakan pemilik perusahaan yang di
dalamnya terdapat saham negara. Pertanyaan yang muncul adalah, dalam bentuk apa
dan kapan negara menanamkan modal / sahamnya pada rakyat. Guna memperjelas
teori tersebut maka dapat dikemukakan contoh ilustrasi sebagai berikut : Apabila
negara mengadakan / menyelenggarakan jaringan lalu lintas umum, keamanan,
jaringan komunikasi, jasa-jasa pekerjaan umum dan berbagai fasilitas lainnya
yang kesemuanya itu dibiayai harta negara, maka secara ilmu ekonomi yang
dilakukan oleh negara tersebut dapat diambil manfaatnya baik di dalam maupun di
sekitar daerah operasional dari suatu perusahaan atau setidak-tidaknya
merupakan syarat dasar membuka kemungkinan dilaksanakannya kegiatan di
bidang-bidang lainnya yang pada akhirnya memberikan keuntungan yang diharapkan.
Keuntungan yang diperoleh oleh suatu perusahaan ataupun seseorang yang melakukan
kegiatan-kegiatan bukanlah seluruhnya berasal dari faktor internal yang
dimilikinya melainkan juga karena faktor eksternal yang berasal dari harta
negara tadi. Negara yang menyediakan fasilitas-fasilitas umum yang dibiayai
dari harta negara itulah yang dianggap sebagai modal atau saham yang ditanamkan
pada rakyat. Fasilitas-fasilitas tersebut sangat berpengaruh pada
kegiatan-kegiatan baik di bidang ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karena
itu, adalah wajar dan adil apabila sebagian dari keuntungan yang diperoleh oleh
perusahaan atau seseorang diserahkan kepada negara dalam bentuk pembayaran
pajak. Teori-teori yang menjadi dasar pembenar pemungutan pajak oleh negara
kepada rakyatnya tersebut mendasarkan pada tujuan dari pemungutan pajak, yaitu
apakah pemungutan pajak untuk kepentingan pemungut, untuk kepentingan yang
dipungut, atau untuk kepentingan kedua-duanya.
Apabila
kita melihat Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia dan menjadi
landasan filosofis semua kegiatan penyelenggaraan negara, maka pemungutan pajak
oleh negara kepada rakyatnya tersebut dapat dibenarkan jika kita mengacu pada
sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima
Pancasila tersebut mengandung makna bahwa kita perlu mengembangkan
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan
dan kegotong royongan.
Pajak
adalah salah satu bentuk perbuatan gotong royong yang tidak perlu disyaratkan,
melainkan sudah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang hanya
perlu dikembangkan dan dilestarikan saja. Gotong royong, termasuk di dalamnya
membayar pajak merupakan salah satu pengorbanan setiap anggota masyarakat untuk
kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan. Jadi, pemungutan pajak menurut
Pancasila dapat dibenarkan, karena pembayaran pajak akhirnya adalah untuk kita
bersama.
- PEMBAGIAN BEBAN
PAJAK
Membicarakan
masalah pembagian beban pajak tidak akan terlepas dari falsafah keadilan, sebab
bagaimanapun juga pemungutan pajak merupakan realisasi dari pengorbanan
penduduk pembayar pajak guna kepentingan umum. Oleh karena itu, disamping
falsafah dasar keadilan pemungutan pajak diperlukan pembagian pajak yang
seadil-adilnya. Menurut Aristoteles keadilan di samping dinilai sebagai
keutamaan umum (yaitu ketaatan kepada hukum alam dan hukum positif), juga
sebagai keutamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada bidang
tertentu. Sebagai keutamaan khusus keadilan itu ditandai oleh sifat-sifat
sebagai berikut (Theo Huijbers, 1988 : 29):
1)
Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang yang satu
dengan yang lain.
2)
Keadilan berada di tengah ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar
keuntungan terciptalah keseimbangan antara kedua pihak : jangan orang
mengutamakan pihaknya sendiri dan jangan juga mengutamakan pihak lain.
3)
Untuk menentukan di manakah terletak keseimbangan yang tepat antara orang-orang
digunakan ukuran kesamaan.
Dengan
terciptanya keadilan berarti akan terdapat keseimbangan, sebagaimana
dikemukakan oleh Sri Redjeki Hartono, bahwa hukum harus mampu menjaga dan
mengatur harkat dan martabat manusia dan kehidupan kemanusiaan dengan mengatur
keseimbangan kepentingan semua pihak demi kesejahteraan nilai-nilai kemanusiaan
(Sri Redjeki Hartono, 2004 : 34-35). Oleh karena itu, agar terjadi keseimbangan
antara negara dengan masyarakat dalam hal pemungutan pajak perlu perangkat hukum
yang mengatur agar kepentingan kedua belah pihak menjadi seimbang.
Selanjutnya
teori keadilan dikembangkan oleh paham tradisional yang dipengaruhi oleh
pemikiran Aristoteles. Teori keadilan atas pengaruh Aristoteles ini dibagi
menjadi tiga keadilan, yaitu keadilan legal, keadilan komutatif dan keadilan
distributif. Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok
masyarakat dengan negara. Pada prinsipnya keadilan legal menyatakan bahwa semua
orang atau kelompok masyarakat harus diperlakukan secara sama oleh negara di
hadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Keadilan komutatif mengatur
hubungan yang adil antara warga negara yang satu dengan warga negara yang
lainnya. Keadilan ini menuntut agar dalam interaksi sosial antara warga yang
satu dengan warga yang lain tidak terdapat pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya. Keadilan ini menuntut agar semua orang memberikan, menghargai
dan menjamin apa yang menjadi hak orang lain. Keadilan distributif pada
prinsipnya menyangkut pembagian / distribusi ekonomi yang merata atau yang
dianggap adil bagi semua warga negara. Dalam kaitannya dengan pemungutan pajak
maka keadilan legallah yang tepat untuk digunakan mengetahui dan menerapkan
apakah suatu peraturan hukum telah memenuhi unsur keadilan atau belum.
Teori
– teori pembagian pajak tersebut adalah teori-teori kepentingan, teori prestasi
negara , teori gaya pikul.
- Teori Kepentingan
Teori
ini hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk
seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang
masing-masing dalam tugas-tugas Pemerintah, termasuk juga perlindungan atas
jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Oleh karena itu, sudah selayaknya
bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya
dibebankan kepada mereka itu.
Jadi,
di dalam membagi beban pajak diantara penduduk hendaknya disesuaikan dengan
kepentingan masing-masing terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
negara. Makin besar kepentingannya terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh negara, makin besar kepentingannya terhadap kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh negara berarti makin besar pula pajaknya.
Menurut
teori ini agar pembagian beban pajak dirasa adil, maka tarip pajaknya
menggunakan tarip proporsional/sebanding, tarip yang persentasenya tetap,
terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak terutang
proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Terhadap teori ini
banyak yang menyampaikan sanggahan karena ternyata mengandung
kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah :
1) Hanya dapat diterapkan pada
pajak tidak langsung, sedang untuk pajak langsung tidak dapat diterapkan.
Pajak
langsung adalah suatu jenis pajak yang pemungutannya langsung kepada wajib
pajak, tidak memerlukan bantuan pihak ketiga, misalnya : Pajak Bumi dan
Bangunan, Pajak Penghasilan dan lain-lain. Pajak tidak langsung adalah suatu
jenis pajak yang pemungutannya lewat pihak ketiga, misal : pajak tontonan,
pajak penjualan, pajak pertambahan nilai dan lain-lain.
2) Hanya dapat dicapai keadilan
dari segi hukum perdata saja, karena hakekat pembayaran pajak disamakan dengan
pembayaran retribusi, padahal antara pajak dan retribusi berlainan.
3) Apabila dihadapkan pada pertanyaan, mana yang
lebih besar kepentingannya terhadap kegiatan negara antara penduduk yang kaya
dan miskin, teori ini menjadi tidak tepat jika diterapkan untuk menghitung
besarnya pajak yang terutang.
Penduduk
yang kaya tidak banyak begitu bergantung pada kegiatan negara, sedangkan
penduduk miskin kepentingannya terhadap kegiatan negara lebih banyak/besar
(misalnya kepentingan rakyat miskin terhadap kegiatan negara atau pemerintah di
bidang kesehatan, seperti adanya Puskesmas, Rumah Sakit Umum, dan lain-lain)
sehingga teori ini dapat dikatakan salah karena pangkal letaknya adalah
kepentingan. Penduduk miskin justru lebih banyak kepentingannya terhadap
kegiatan negara, apakah penduduk miskin harus membayar pajak lebih besar ? Oleh
karena terdapatnya kelemahan-kelemahan tersebut, maka berkuranglah sarjana yang
mempertahankan teori yang tidak sesuai dengan kenyataan ini.
- Teori Prestasi
Negara
Teori
ini berpangkal pada prestasi yang oleh penduduk diharapkan negara akan
melakukannya. Teori ini juga disebut dengan teori prestasi modern yang
berpangkal pada kemampuan ekonomi subjektif. Untuk mengetahui kemampuan ekonomi
subjektif, negara membuat suatu daftar yang berisi daftar prestasi negara.
Makin banyak yang diisi atau diminta berarti bersedia memikul biaya, sehingga
bersedia dipajaki lebih banyak dan makin sedikit yang diisi berarti makin
sedikit kesediaannya untuk dipajaki. Hipotesa teori prestasi negara ini
diletakkan pada kejujuran seseorang penduduk atau wajib pajak. Hal ini juga
merupakan suatu hipotesa kemampuan ekonomi yang sulit dibuktikan kebenarannya.
- Teori Daya Pikul
Teori
ini menyatakan bahwa agar pemungutan pajak dirasa adil maka dalam membagi beban
pajak hendaknya disesuaikan dengan daya pikul Wajib Pajak yang bersangkutan.
De
Langen mengatakan bahwa daya pikul adalah kekuatan seseorang untuk memikul
suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi
dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri
beserta keluarganya.
Cohan
Stuart menyamakan gaya/daya pikul sama dengan sebuah jembatan, yang
pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk
dibebaninya dari luar. Hal ini berarti bahwa daya pikul adalah sama dengan kekuatan
memikul beban yang melewati jembatan itu tanpa jembatan itu amblas, yang
berarti bahwa kekuatan pikul jembatan dikurangi dengan bobot sendiri. Misalnya,
kekuatan pikul jembatan 25 ton sedangkan bobot jembatan itu sendiri adalah 15
ton, maka daya pikul jembatan itu adalah 25 ton dikurangi 15 ton sama dengan 10
ton. Kendaraan yang berbobot lebih dari 10 ton tidak boleh melewati jembatan
itu. Kaitannya dengan beban pajak dapat disimpulkan bahwa kekuatan untuk
menyerahkan uang kepada negara (dalam bentuk pajak ) baru ada jika
kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia atau tercukupi. De Langen
berkesimpulan bahwa kekuatan untuk membayar pajak kepada negara baru ada
setelah kekuatan orang yang bersangkutan dikurangi dengan minimum kehidupan.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya minimum kehidupan
(Santoso Brotodihardjo, 1982 : 69) adalah :
a.
keadaan keuangan suatu negara : apabila keadaan baik, maka negara dapat lebih
leluasa memperhatikan lapisan-lapisan bawah dari pada penduduk dan memberikan
pembebasan pajak bagi suatu minimum kehidupan yang direncanakan lebih luas.
b.
pembagian pendapatan : apabila terbanyak di antara rakyat hanya memiliki
pendapatan yang sama dengan minimum kehidupan, atau hanya melebihi sedikit maka
adalah sukar untuk tidak membebaninya dengan pajak yang tersebut terakhir ini.
c.
gaya beli uang : apabila gaya beli ini di berbagai daerah dari suatu negara
berbeda-beda maka perlu kiranya ditentukan suatu minimum yang berbeda-beda.
- Fiscal Policy
Hasil
pemungutan pajak tidak hanya digunakan untuk memasukkan ke dalam kas negara
(fungsi budgeter) saja, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan politik atau tujuan yang ada di luar bidang keuangan (fungsi mengatur =
regulerend). Fungsi pajak yang budgeter dan fungsi yang mengatur sejak diadakan
tax reform dikombinasikan yang lazimnya ditentukan dalam kebijaksanaan fiskal
(fiscal policy). Kebijaksanaan fiskal adalah segala sesuatu yang bertalian
dengan usaha Pemerintah untuk menstabilisasikan atau mendorong tingkat
aktivitas ekonomi. Kebijaksanaan fiskal tersebut dilakukan oleh pemerintah
dalam bentuk pemberian insentif / perangsang misalnya untuk menarik investor
dari luar negeri, untuk megembangkan pasar modal,dan lain-lain (Rochmat
Soemitro, 2004 : 46).
Soemitro
Djojohadikusumo dalam karangannya yang berjudul “Fiscal Policy, Foreign
Exchange Control and Economic Development” menjelaskan (terjemahan bebas) bahwa
Fiscal Policy sebagai alat pembangunan harus mempunyai satu tujuan bersamaan,
yaitu secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public
investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving
ke arah sektor-sektor yang produktif, maupun digunakan untuk mencegah
pengeluaran-pengeluaran yang menghambat pembangunan.
Untuk
dapat mencapai tujuan tersebut maka fiscal policy sebagai satu alat pembangunan
harus didasarkan atas kombinasi tarip-tarip pajak yang tinggi, baik pajak–pajak
langsung maupun pajak–pajak tidak langsung dengan satu fleksibilitas yang berada
dalam sistem pengenaan pajak-pajak berupa pembebasan pajak– pajak dan pemberian
insentif atau dorongan-dorongan untuk merangsang private investment sebagaimana
diharapkan.
- ASAS-ASAS
PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK
- Asas-asas
Pemungutan Pajak
Dalam
pelaksanaan pemungutan pajak dikenal adanya asas-asas pelaksanaan pemungutan
pajak, tata cara pemungutan pajak dan sistem pemungutan pajak. Asas-asas
pelaksanaan pemungutan pajak dapat dijumpai adanya beberapa asas, yaitu : asas
yuridis, asas ekonomis, asas umum dan merata, asas domisili, asas sumber, asas
kebangsaan, asas waktu, asas rentabilitas dan asas resiprositas.
a.
Asas
Yuridis
Asas
ini mensyaratkan bahwa pemungutan pajak harus berdasar undang-undang, artinya
pemungutan pajak tersebut harus terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat
(melalui wakil-wakil rakyat).
Di
Indonesia hal tersebut tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi
: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”, yang setelah
dilakukan amandemen ketiga Undang Undang Dasar 1945 selanjutnya dicantumkan
dalam Pasal 23 A, yang berbunyi : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Jadi
ketentuan-ketentuan tersebut (khususnya yang terbaru yaitu Pasal 23 A) dapat
dikatakan merupakan sumber hukum formal dari pajak. Dari ketentuan Pasal 23 A
amandemen Undang Undang Dasar 1945 tersebut lalu muncul pertanyaan, mengapa
pemungutan pajak harus berdasarkan udang-undang? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut tidak cukup hanya menyatakan, karena Pasal 23 A menentukan atau
mengatur demikian.
Ketentuan
atau Pasal 23 A amandemen Undang Undang Dasar 1945 memang merupakan sumber
hukum formal dari pajak, tetapi sebenarnya juga tersirat falsafah pajak yang
lebih mendalam. Jadi, untuk menjawab pertanyaan di atas maka dapat dikemukakan
landasan filosofis dari ketentuan Pasal 23 A tersebut. Pajak merupakan
peralihan kekayaan atau harta dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada
imbalannya yang secara langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan yang tidak
ada imbalannya tersebut dalam kejadian sehari-hari hanya terjadi misalnya
karena perampasan, penggarongan, pemberian hadiah secara sukarela dan
lain-lain. Oleh karena itu, agar pemungutan pajak tidak dikatakan sebagai
perampokan, penggarongan atau pemberian hadiah secara sukarela maka disyaratkan
bahwa pajak sebelum dikenakan kepada rakyat harus mendapat persetujuan dari
rakyat.
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) anggota-anggotanya dipilih secara demokratis oleh
rakyat, dan sekaligus mewakili rakyat, sehingga apabila DPR menyetujui
rancangan undang-undang tentang pajak maka berarti bahwa undang-undang tentang
pajak tersebut juga telah disetujui oleh rakyat. Dasar / landasan filosofis
yang terkandung dalam Pasal 23 A amandemen UUD 1945 tersebut ternyata sama
dengan falsafah perpajakan yang dianut di negara-negara maju seperti di
Inggris, yang falsafahnya berbunyi : “No taxation without representation” dan
falsafah di Amerika Serikat berbunyi : “Taxation without representation is
robbery”.
Undang-undang
tentang perpajakan menurut Adam Smith harus memenuhi syarat-syarat yaitu syarat
yuridis, syarat ekonomis, syarat finansial, dan syarat sosiologis. Syarat
yuridis mengharuskan bahwa undang-undang pajak yang menjadi dasar pelaksanaan
perpajakan harus memberikan kepastian hukum, memberikan keadilan, dan juga
harus memberikan manfaat.
Syarat
ekonomis mensyaratkan bahwa pemerintah dalam memungut pajak harus benar-benar
memperhatikan dampak ekonomi pada individu, jangan sampai pajak merupakan beban
bagi individu atau warga masyarakat. Syarat finansial mensyaratkan bahwa dalam
pemungutan pajak harus memberikan hasil atau cukup memberikan hasil pada kas
negara, jangan sampai biaya yang digunakan untuk memungut pajak melebihi hasil
dari pajak. Syarat sosiologis mensyaratkan bahwa pajak harus dipungut sesuai
dengan kebutuhan masyarakat serta memperhatikan keadaan dan situasi masyarakat
pada waktu itu. Karena pajak adalah untuk keperluan masyarakat dan dipungut
dari anggota masyarakat, maka pungutan pajak harus mendapatkan persetujuan dari
masyarakat (Rochmat Soemitro, 2004 : 39).
b.
Asas
Ekonomis
Dalam
asas ini disyaratkan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1)
Pajak harus dapat dibayar dari penghasilan rakyat dan tidak boleh menghalangi
usahanya dalam menuju ke kebahagiaan rakyat;
2)
Pajak tidak boleh menghalang-halangi lancarnya usaha perdagangan dan industri
atau produksi;
3)
Pajak tidak boleh bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
Kepentingan
umum jangan sampai dirugikan, misalnya bantuan terhadap bencana alam menurut
saluran-saluran tertentu yang dilakukan oleh orang-orang atau badan dapat
dianggap sebagai pengeluaran yang dapat dipergunakan untuk mengurangi jumlah
penghasilannya dalam rangka menghitung penghasilan bersih.
c.
Asas
Umum dan Merata
Umum
artinya adalah bahwa dalam asas ini menyatakan bahwa pemungutan pajak harus
dikenakan kepada semua orang (yang memenuhi syarat) tanpa pandang bulu dan dan
merata artinya tekanan beban pajaknya sama (sesuai dengan kemampuan
masing-masing Wajib Pajak )
d.
Asas
Domisili
Asas
ini memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak kepada Wajib Pajak
(tax payer) yang bertempat tinggal di wilayahnya. Dengan kata lain pemungutan
pajak didasarkan atas tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak. Misalnya,
apabila seorang Warga Negara Indonesia (WNI) memperoleh penghasilan dari
Indonesia dan dari luar Indonesia maka pemerintah Indonesia berwenang memungut
pajak kepada WNI yang bersangkutan baik atas penghasilan yang diperoleh dari
Indonesia maupun dari luar tersebut.
e.
Asas
Sumber
Asas
ini memberikan kewenangan kepada negara asal sumber pendapatan yang diperoleh
oleh Wajib Pajak. Dengan kata lain pemungutan pajak didasarkan atas letak
sumber pendapatan yang diperoleh tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib
Pajak. Misalnya, jika seorang Warga Negara Asing (WNA) memperoleh penghasilan
dari Indonesia, maka berdasar atas asas ini pemerintah Indonesia berwenang
memungut pajak kepada WNA tersebut.
f.
Asas
Kebangsaan
Asas
kebangsaan ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan dari suatu
negara sehingga pengenaan/ pemungutan pajak didasarkan atas kebangsaan Wajib
Pajak . Asas ini mengandung dua arti yaitu :
1)
Dalam arti aktif ; artinya negara berwenang memungut pajak kepada semua warga
negaranya dimana pun berada.
2)
Dalam arti pasif ; artinya negara berwenang untuk memungut pajak terhadap warga
negara asing yang tinggal di wilayah negaranya.
g.
Asas
Waktu
Asas
ini mensyaratkan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan pada saat Wajib Pajak dalam
keadaan mampu membayar pajak. Misalnya, memungut pajak pada saat rakyat
menikmati panen atau saat wajib pajak yang berstatus pegawai mendapat gaji,
jangan memungut pajak saat rakyat dalam keadaan paceklik.
h.
Asas
Rentabilitas
Asas
ini mensyaratkan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari
pajaknya, atau dengan kata lain pemungutan pajak harus memberikan hasil. Salah
satu fungsi pajak adalah fungsi budgetair atau fungsi keuangan, yaitu untuk
mendapatkan keuangan yang sebesar-besarnya bagi negara, sehingga jika
pemungutan pajak akan merugikan negara atau tidak menghasilkan, maka pemungutan
pajak tidak perlu dilakukan.
i.
Asas
Resiprositas
Asas
ini menyatakan bahwa negara memberikan kebebasan subyektif dengan syarat timbal
balik. Misalnya, duta besar suatu negara yang berada di Indonesia dapat
dibebaskan membayar pajak tertentu dengan syarat bahwa negara dari duta besar
tersebut juga membebaskan duta besar Indonesia di negara sahabat tersebut.
j.
The
Four Maxims
Di
samping asas-asas tersebut, agar pemungutan pajak itu dirasa adil, maka
peraturan pajaknya juga harus adil. Agar peraturan pajak adil, menurut Adam
Smith dalam bukunya Wealth of Nations peraturan pajak harus memenuhi 4 syarat,
yaitu :
ü Equity
dan Equality
Equity
adalah kepatutan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat (Rochmat Soemitro, 1986
: 15-16), sedangkan Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa dalam keadaan
yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak
yang sama.
ü Certainty
: artinya ada kepastian hukum, harus jelas subjek, objek, dan tarip pajaknya.
ü Convenience
of Payment : artinya pajak harus dipungut pada saat yang tepat, saat yang
paling baik bagi wajib pajak.
ü Efisiensy
/ Economics of Collection : artinya pemungutan pajak harus memberikan hasil,
dilakukan dengan sehemat-hematnya dan jangan sampai biaya pemungutan melebihi
pemasukan pajaknya.
- Tata Cara
Pemungutan Pajak
Cara
pemungutan pajak yang dapat dilakukan ada beberapa alternatif penerapannya yang
dikenal dengan stelsel pajak, yaitu :
1)
Stelsel Nyata (riel stelsel)
Dalam
stelsel ini pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sungguh-sungguh
diperoleh (penghasilan yang nyata ) dalam setiap tahun pajak. Besarnya
penghasilan yang nyata baru dapat diketahui pada akhir tahun pajak. Stelsel ini
memiliki kelebihan, yaitu : (a) pengenaan pajak lebih realistis, karena
pengenaannya didasarkan atas penghasilan yang benar-benar diperoleh; (b)
pengenaan pajak lebih adil sesuai dengan asas /teori daya pikul. Namun di
samping kelebihan tersebut, stelsel ini juga mengandung kelemahan, yaitu : (a)
pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode/setelah penghasilan riil
diketahui; dan (b) memerlukan tenaga untuk meneliti secara baik.
2)
Stelsel Anggapan (fictieve stelsel)
Dalam
stelsel ini pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
Undang-undang. Misalnya : penghasilan dalam satu th pajak dianggap sama dengan
penghasilan sesungguhnya yang didapat pada tahun sebelumnya, sehingga pada awal
tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun
pajak berjalan. Stelsel ini mengandung kelebihan-kelebihan, yaitu : bahwa pajak
dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun,
sedang kekurangannya adalah bahwa pajak yang dibayar tidak berdasarkan keadaan
yang sesungguhnya.
3)
Stelsel Campuran
Stelsel
ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada
awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan (pendapatan atau
penghasilan tahun sebelumnya), kemudian pada akhir tahun besarnya pajak
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut
kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan maka WP harus menambah,
dan sebaliknya jika jumlah pajaknya ternyata lebih kecil maka kelebihanatas
pembayaran yang telah dilakukan dapat diminta kembali.
- Sistem Pemungutan
Pajak :
1)
Official Assessment System
Official
Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak. Ciri-ciri :
a.
Wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiscus;
b.
Wajib Pajak bersifat pasif, menunggu ketetapan fiscus mengenai besarnya utang
pajak.
c.
Hutang pajak timbul setelah dikeluarkan SKP oleh fiscus.
Sistem
ini mengandung kelemahan-kelemahan, yaitu :
a.
Pelaksanaan kewajiban perpajakan sangat tergantung pada aparat perpajakan,
sehingga menimbulkan kecenderungan masyarakat Wajib Pajak kurang
bertanggungjawab dalam memikul beban negara.
b.
Sistem pemungutan pajak sangat berbelit (Rimsky K. Judisseno, 1999 : 5).
2)
Self Assessment System
Self
Assessment System adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada WP
untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dalam sistem ini Wajib
Pajak diberikan kepercayaan sepenuhnya guna meningkatkan kesadaran dan peran
serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya.
Konsekuensi
dari sistem ini adalah bahwa masyarakat harus benar-benar mengetahui tata cara
menghitung pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelunasan pajaknya.
Cirir-ciri :
a.
Wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada WP sendiri
b.
WP aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang
c.
Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3)
With Holding System
With
Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan Fiscus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-ciri
dari with holding system adalah wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada
pada pihak ketiga, selain fiscus dan Wajib Pajak (Mardiasmo, 1997 : 9).
Dapat
pula dikatakan bahwa ia sebagai salah satu metode pengumpulan pajak penghasilan
yang merupakan bagian dari seluruh penghasilan yang diterima oleh subjek pajak
dalam satu tahun yang dihitung, dipotong, disetor dan dilaporkan oleh si
pemberi penghasilan (Ating Sukma, dkk, 2005 : 32).
Penerapan
sistem ini memberi dorongan kepada peningkatan kepatuhan sukarela (voluntary
compliance), dimana pemberi penghasilan harus melaporkan dan mencantumkan
identitas siapa penerimanya. Pajak terutang dapat dengan mudah dikumpulkan oleh
si pemberi kerja atau pemberi penghasilan dengan kesederhanaan dokumentasi.
- TINJAUAN UMUM
TENTANG PAJAK
- Pengertian Pajak
Jika
kita melihat pengertian pajak maka kita jumpai sangat beragam. Sebatas untuk
perbandingan maka berikut ini dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan
oleh beberapa sarjana.
1)
PJA Adriani :
“Pajak
ialah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang
wajib membayarnya, menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjuk yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan”.
2)
Soeparman Soemahamidjaja :
“Pajak
adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksibarang-barang dan
jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
3)
Rochmat Soemitro :
“Pajak
ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan dari sektor swasta ke sektor
pemerintah) berdasarkan Undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
jasa timbal (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk untuk membiayai
pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk
mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan”. Dapat dipaksakan artinya
adalah bahwa bila hutang pajak tidak dibayar maka hutang itu dapat ditagih
dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga
penyanderaan terhadap pembayaran pajak.
Dari
definisi-definisi tersebut di atas pada intinya dapat dikatakan bahwa pajak
adalah iuran dari rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang, tanpa adanya
imbalan atau imbal balik yang secara langsung dapat ditunjukkan yang digunakan
untuk biaya rutin dan pembangunan.
Pengertian
pajak tersebut jika dibandingkan dengan retribusi dan sumbangan dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pada retribusi pada umumnya hubungan antara
prestasi dan kembalinya adalah langsung dapat ditunjukkan atau diperlihatkan.
Retribusi didasarkan atas peraturan-peraturan yang berlaku umum dan untuk
menaatinya yang bersangkutan dapat pula dipaksa. Cara membayarnya
bermacam-macam, dapat berupa uang, meterai dan ada pula dengan leges.
Selanjutnya untuk istilah sumbangan, mengandung pemikiran bahwa biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tidak boleh dikeluarkan dari kas
umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya melainkan
hanya untuk sebagian penduduk tertentu saja (Santoso Brotodihardjo, 1982 : 7).
Sepintas antara retribusi dan sumbangan adalah sama, namun sumbangan ini tidak
bisa disamakan begitu saja dengan retribusi. Pada retribusi imbal balik dari
pemerintah dapat ditunjuk secara langsung atau dinikmati secara langsung oleh
seseorang atau orang yang membayar retribusi, sedangkan pada sumbangan yang
mendapat prestasi kembali (tegen prestatie) adalah suatu golongan. Bila
dibandingkan dengan pajak, meskipun keduanya terdapat sanksi yang bersifat
yuridis, namun akibat hukum dari pelanggaran terhadap pajak dn sumbangan
berbeda. Sifat memaksa dari pajak lebih kuat bila dibandingkan dengan
sumbangan. Pada retribusi, sifat paksaannya pada umumnya bersifat ekonomis.
Sejak
reformasi perpajakan digulirkan pertama kalinya tahun 1983 hingga saat ini,
telah beberapa paket undang-undang di bidang perpajakan dihasilkan, dan
beberapa di antaranya telah mengalami beberapa kali perubahan. Setidak-tidaknya
menurut catatan penulis telah dihasilkan 22 Undang-Undang di bidang perpajakan
sejak tahun 1983 sampai dengan tahun 2002, baik yang sifatnya sebagai
pengaturan baru di bidang perpajakan maupun perubahan terhadap undang-undang
yang telah dihasilkan sebelumnya. Namun demikian dari 22 undang-undang di
bidang perpajakan, hanya ada 2 (dua) undang-undang yang mendefinisikan pajak,
yaitu Undang-Undang nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Agus Hendra
Simatupang, 2005 : 20). Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah : “semua jenis pajak
yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak
yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, definisi pajak adalah sama
(tidak ada perubahan) dengan yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997.
- Unsur-Unsur Pajak
Dengan
mengacu pada definisi-definisi di atas, khususnya definisi dari Rahmat Soemitro
maka dapat diketahui unsur-unsur dari pajak, yaitu :
1) Ada undang-undang yang mendasari;
Pemungutan pajak harus berdasar pada
Undang-Undang, tidak bisa dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tata urutannya .
2) Ada penguasa pemungut pajak;
Dalam pemungutan pajak harus ada
pemerintah yang akan memungut pajak, pemungutan pajak tidak dilakukan oleh partikelir
(swasta).
3) Ada subjek pajak;
Artinya harus ada subjek yang dapat
berupa orang pribadi atau badan yang dapat dibebani kewajiban untuk membayar
pajak.
4) Ada objek pajak;
Artinya harus ada sasaran apa yang akan
dibebani pajak, yang dapat berupa keadaa, perbuatan atau peristiwa.
5) Ada masyarakat / kepentingan umum;
Hasil dari pemungutan pajak harus
kembali pada masyarakat atau untuk kepentingan masyarakat.
6) Ada Surat Ketetapan Pajak;
Surat Ketetapan pajak ini tidak bersifat
mutlak tetapi fakultatif, artinya untuk jenis pajak tertentu kadang tidak
memerlukan Surat Ketetapan pajak.
- Ciri-Ciri Pajak
Dengan
melihat unsur-unsur pajak tersebut maka pajak juga dapat diketahui adanya
ciri-ciri yang biasanya ada, yaitu :
1)
Dipungut berdasarkan undang-undang atau peraturan daerah (PERDA) artinya dapat
dipaksakan.
2)
Dapat berupa Pajak Langsung (pajak yang langsung dipungut oleh pemerintah
melalui aparaturnya) dan Pajak Tidak Langsung (pajak yang pemungutannya melalui
pihak ketiga).
3)
Dapat dipungut sekaligus (dipungut setiap ada perbuatan, keadaan, atau
peristiwa yang menimbulkan utang pajak) atau berulang-ulang (artinya pajak
dipungut secara periodik atau terus menerus).
4)
Tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk (artinya pembayaran pajak
yang dilakukan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan dia mendapatkan imbal balik
yang secara langsung diterima atau dapat ditunjukkan).
5)
Sebagai alat pendorong (artinya pajak dapat digunakan untuk mendorong adanya
investasi, jika ada fasilitas insentif di bidang perpajakan) atau penghambat
(artinya pajak dapat digunakan untuk menghambat pemborosan atau dapat berlaku
hemat).
6)
Penggunaan pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang
keuangan.
- Fungsi Pajak
a) Fungsi
Keuangan (Budgetair) :
Struktur
penerimaan negara telah bergeser dalam beberapa dasawarsa terakhir, yaitu dari
penerimaan minyak dan gas ke penerimaan pajak. Peningkatan peran dan fungsi
penerimaan Negara dari sektor pajak memperlihatkan kenaikan yang cukup berarti
pada tiap tahun anggaran.
Peningkatan
penerimaan pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah pertumbuhan
ekonomi nasional. Sementara intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak
juga besar pengaruhnya dalam ikut meningkatkan penerimaan negara dari sektor
pajak. Intensifikasi dan ekstensifikasi dalam pemungutan pajak akan bersifat
kontraktif jika tanpa adanya keberhasilan pembangunan secara keseluruhan (Nadir
Sitorus, 2002 : 2).
Uang
masyarakat yang dibayarkan kepada pemerintah pusat dalam bentuk pajak pusat dimasukkan
ke dalam kas negara selanjutnya diolah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan untuk pajak daerah dimasukkan ke dalam kas daerah dan
selanjutnya diolah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
biaya rutin dan pembangunan.
Peran
penerimaan dari sektor pajak ke dalam APBN atau APBD tersebut untuk beberapa
tahun ke depan akan makin berat, hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi yang
masih dalam proses pemulihan (recovery) dan stabilitas sosial politik yang
masih akan mempengaruhi terhadap perkembangan usaha dan investasi, kesempatan
kerja, produksi serta distribusi barang dan jasa yang mempengaruhi penghasilan
dan daya beli masyarakat secara keseluruhan.
b) Fungsi
Mengatur (Regulerend) :
Pajak
sebagai alat untuk mengatur kesejahteraan rakyat di bidang sosial, ekonomi dan
budaya. Fungsi mengatur dari pajak dapat diberikan contoh sebagai berikut :
a.
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras dimaksudkan untuk mengurangi
konsumsi minuman keras.
b.
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah dengan maksud untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.
c.
Tarif pajak untuk ekspor adalah 0 % yang dimaksudkan untuk mendorong ekspor
produk Indonesia di pasaran dunia.
- Pendekatan Pajak
Untuk
memahami pajak secara lengkap maka pajak dapat didekati dari beberapa sudut
pandang, yaitu :
a)
Segi
Hukum
Pajak
(utang pajak) adalah perikatan yang timbul karena Undang-undang (jadi dengan
sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat ( tatbestand ) yang
ditentukan dalam Undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada
negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat imbalan yang
secara langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara.
b)
Segi
Ekonomi
Pajak
adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah, berdasarkan
peraturan – peraturan yang dapat dipaksakan dan mengurangi income masyarakat
tanpa memperoleh imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran masyarakat (negara).
Jika
dilihat secara mikroekonomi, pemungutan pajak akan mengurangi income individu
dan tanpa imbalan, sehingga pajak dianggap sebagai beban yang memberatkan,
mengurangi pendapatan seseorang, mengurangi daya beli seseorang, dan akhirnya
mengurangi kesejahteraan individu. Pandangan secara mikroekonomi ini
mengakibatkan pengertian yang salah terhadap pajak (Rochmat Soemitro dan Dewi
kania Sugiharti, 2004 : 49-50).
Pendekatan
secara makroekonomi, pajak didekati dengan melibatkan masyarakat, karena individu
merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat memerlukan income untuk membiayai
kelangsungan hidupnya, seperti untuk keamanan, ketertiban, gaji para pegawai,
kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, para individu
perlu memberikan masukan atau iuran kepada masyarakat dalam bentuk pajak guna
keperluan masyarakat yang bersangkutan.
c)
Segi
Keuangan
Dari
segi keuangan, pajak hanya ditinjau sebagai alat untuk mengumpulkan dan
memasukkan uang yang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Pajak merupakan
alat yang strategis bagi suatu negara untuk mendapatkan anggaran di samping
sumber-sumber yang lain.
d)
Segi
Sosiologi
Pendekatan
dari segi sosiologi, pajak tidak hanya untuk membiayai pengeluaran rutin
pemerintah, tetapi sangat diharapkan juga untuk membiayai pembangunan, baik
pembangunan materiil maupun moril / spirituil. Pembebanan pajak kepada rakyat
juga akan berdampak pada masyarakat, sehingga pembebanan pajak hanya dirasa
benar jika bermanfaat bagi masyarakat.
- Pembagian Pajak
Pembagian
atau penjenisan pajak tergatung pada dari sudut mana pajak itu dipandang atau
didekati.
- Menurut
Golongannya :
Jika
dilihat dari sudut penggolongannya maka pajak dapat dibedakan ke dalam jenis
pajak sebagai berikut :
a.
Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dialihkan kepada pihak lain, misalnya : Pajak
Penghasilan.
Ciri-ciri
dari pajak langsung tersebut adalah sebagai berikut :
(1)
Dipungut secara periodik;
(2)
Mempunyai kohir / Surat Ketetapan Pajak;
(3)
Merupakan pajak yang dipungut langsung kepada Wajib Pajak , sehingga ada 2
pihak yaitu Fiscus dan Wajib Pajak.
b.
Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dialihkan kepada pihak lain, misalnya : Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Ciri-ciri
yang melekat pada jenis pajak tidak langsung ini adalah sebagai berikut :
(1)
Dipungut tidak secara periodik;
(2)
Tidak berkohir;
(3)
Pemungutan melalui Pihak ketiga, sehingga ada tiga pihak yaitu Fiscus, Wajib
Pungut (Wapu) dan Wajib Pajak.
- Menurut
Kewenangan Memungut :
Jika
dilihat dari sudut kewenangan memungutnya, maka pajak dapat dibedakan ke dalam
:
a.
Pajak Pusat adalah pajak yang kewenangan memungutnya ada pada pemerintah pusat,
misalnya : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), dan lain-lain.
b.
Pajak Daerah adalah pajak yang kewenangan memungutnya ada pada pemerintah
daerah (Pajak Propinsi & Pajak Kab/Kota), misalnya untuk Pajak Propinsi
adalah Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan
lain-lain, sedang untuk Pajak Daerah Kabupaten / Kota adalah Pajak Reklame,
Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, dan lain-lain.
- Menurut
Sifatnya :
Jika
dilihat dari sifatnya, pajak dapat dibedakan ke dalam jenis pajak sebagai
berikut:
a.
Pajak Pribadi (pajak subjektif) yaitu pajak yang pemungutannya memperhatikan
keadaan pribadi Wajib Pajak (subjek pajak), misalnya Pajak Penghasilan dalam
menentukan besar kecilnya utang pajak akan dilihat kondisi atau jumlah
tanggungan Wajib Pajak.
b.
Pajak Kebendaan (pajak objektif) yaitu pajak yang pemungutannya tanpa
memperhatikan keadaan Wajib Pajak, yang dilihat hanya objek pajaknya saja,
misalnya Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dan lain-lain.
- Subjek, Objek dan
Tarip Pajak
1. Subjek Pajak
Pengertian
subjek pajak berbeda dengan pengertian wajib pajak. Pengertian subjek pajak
tidak dapat ditemukan baik dalam UUKUP tahun 1983 maupun dalam perubahan-perubahannya
sampai dengan yang terakhir saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
(UUKUP tahun 2007). Namun dalam UUKUP tahun 2007 hanya dijelaskan tentang
pengertian wajib pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Pengertian
subjek pajak dapat ditemukan dalam beberapa Undang-Undang Pajak yang tergolong
Hukum Pajak Materiil, seperti yang dapat dilihat di Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 ) dan Undang-Undang tentang Pajak Bumi
dan Bangunan (Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 sebagaimana dirubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994). Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun
2008 dijelaskan mengenai subjek pajak yaitu :
a.
Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa yang menjadi Subjek Pajak adalah : (a)
1) orang pribadi atau perseorangan; dan 2) warisan yang belum terbagi sebagai
suatu kesatuan, menggantikan yang berhak; dan (b) badan; dan (c) bentuk usaha
tetap.
b.
Dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam
negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Selanjutnya yang dimaksud dengan Subjek
Pajak dalam negeri adalah : (a) orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia; (b) badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia; dan (c) warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan, menggantikan yang berhak.
Subjek
Pajak luar negeri adalah : (a) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; (b) orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.
Bentuk
usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : (a)
tempat kedudukan manajemen; (b) cabang perusahaan; (c) kantor perwakilan; (d) gedung
kantor; (e) pabrik; (f) bengkel; (g) pertambangan dan penggalian sumber alam,
wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; (h)
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; (i) proyek
konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; (j) pemberian jasa dalam bentuk
apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60
(enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; (k) orang atau badan
yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; (l) agen atau pegawai
dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
c.
Pasal 3 dijelaskan tentang badan dan orang yang tidak termasuk Subjek Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yaitu : (a) badan perwakilan negara asing;
(b) pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan
warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; (c) organisasi-organisasi
internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat
: (1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; (2) tidak menjalankan
usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota; dan (d) pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
d.
Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan dinyatakan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang ini.
Selanjutnya
mengenai Wajib Pajak pengertiannya ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUKUP 2007,
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,
termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Orang pribadi atau badan
dalam hukum pajak merupakan subjek pajak, sehingga wajib pajak adalah juga
merupakan subjek pajak. Oleh karena itu, subjek pajak ( orang pribadi atau
badan ) yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Undang-Undang
Perpajakan adalah Wajib Pajak.
Setiap
Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak sebagai
Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak.
2. Objek Pajak
Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan 2008 menyatakan, yang menjadi
Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk:
a.
penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b.
hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c.
laba usaha;
d.
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1)
keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2)
keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3)
keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
atau pengambilalihan usaha;
4)
keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e.
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f.
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
g.
dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
royalti;
h.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
i.
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
j.
keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
k.
keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
l.
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
m.
premi asuransi;
n.
iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
o.
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.
Undang-undang
tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3), yang tidak termasuk sebagai Objek
Pajak adalah :
1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2)
harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b.
warisan;
c.
harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal;
d.
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah;
e.
pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
f.
dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau
Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan
dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1)
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2)
bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan
harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
g.
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
h.
penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
i.
bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi;
j.
bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
k.
penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1)
merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
2)
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
3. Tarip Pajak
Pengaturan
tarip pajak dapat diketemukan dalam Hukum Pajak Materiil. Tarip digunakan
sebagai dasar untuk menetapkan besarnya utang pajak yang harus dibayar oleh
Wajib Pajak orang pribadi ataupun badan. Dalam praktik pemungutan pajak, tarip
pajak yang digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan pajak dapat
berupa tarip-tarip pajak sebagai berikut :
1)
Tarip proporsional/sebanding
Tarip
proporsional atau sebanding adalah tarip pajak yang persentasenya tetap atau
tidask berubah, artinya semakin besar jumlah yang dipakai sebagai dasar
menentukan besarnya pajak yang terutang maka semakin besar pula jumlah utang
pajak yang harus dibayar. Namun, kenaikan besarnya utang pajak tersebut
diperoleh dengan persentase yang sama / tetap. Misalnya dalam Undang-Undang tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah
(Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) dinyatakan bahwa untuk Pajak Pertambahan
Nilai ditetapkan 10 % (sepuluh per seratus).
2)
Tarip tetap
Tarip
tetap adalah tarip pajak yang besarnya tetap terhadap berapapun jumlah atau
nilai objek yang dikenakan pajak. Misalnya tarip dalam menetapkan besarnya
pajak berupa bea meterai atas diterbitkannya dokumen suatu perjanjian sebesar
Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah).
3)
Tarip progresif
Tarip
progresif adalah tarip pajak yang persentase pengenaannya semakin meningkat
biloa jumlah atau nilai objek yang dikenai pajak. Misalnya tarip dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menentukan bahwa bagi wajib pajak orang
pribadi akan dikenai tarip sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak. Tarip
pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
a.
Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
tarip pajaknya 5% (lima persen);
b.
Di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tarip pajaknya 15 % (lima
belas persen);
c.
Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tarip pajaknya 25% (lima belas persen);
d.
Di atas Rp 500.000.000,0 (lima ratus juta rupiah) tarip pajaknya 30% (tiga
puluh persen).
Apabila
dilihat dari kenaikan persentase tarifnya, dalam tarip progresif dikenal :
a.
Tarip progresif progresif, yaitu kenaikan persentase tarifnya semakin besar;
b.
Tarip progresif tetap, yaitu kenaikan persentase tarifnya tetap;
c.
Tarip progresif degresif, yaitu kenaikan persentase tarifnya semakin kecil.
4)
Tarip degresif
Tarip
progresif adalah tarip pajak yang persentase pengenaannya semakin menurun
sejalan dengan pertambahan penghasilan atau dengan kata lain persentase tarip
yang digunakan akan semakin kecil jika jumlah atau nilai objek yang dikenai
pajak semakin besar. Dalam penerapannya tarip progresif juga dapat berupa
degresif progresif, degresif tetap dan degresif degresif.
- Pengampunan Pajak
( Tax Amnesty )
Pengampunan
pajak (tax amnesty) merupakan kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang
memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan
dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak
dan kesempatan bagi wajib pajak yang tidak patuh (tax evaders) menjadi wajib
pajak yang patuh (honest taxpayers) sehingga diharapkan akan mendorong
peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak (taxpayer’s voluntarily compliance)
di masa yang akan datang. Tax amnesty berasal dari kata “amnesty” yang berarti
memaafkan atau mengampunkan (forgiveness). Tax amnesty dapat dibedakan atas
beberapa jenis yaitu : filling amnesty, record-keeping amnesty, revision
amnesty, investigation amnesty dan prosecution amnesty. Tax amnesty juga dapat
diberikan sekali saja (one-shot amnesty atau permanent amnesty) atau lebih dari
satu (intermittent amnesty atau temporary amnesty) (John Hutagaol, 2004 : 29).
Kebijakan
pemerintah memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) dapat menimbulkan pro dan
kontra. Dari kelompok yang pro, kebijakan ini diharapkan dapat menghasilkan
tambahan penerimaan pajak yang signifikan dan memberikan kesempatan bagi wajib
pajak yang selama ini belum patuh. Sebaliknya bagi kelompok yang kontra, tax
amnesty dapat menimbulkan ketidakadilan (inequity) bagi wajib pajak yang patuh
(honest taxpayers) karena selama ini wajib pajak tersebut telah memenuhi
kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan (John
Hutagaol, 2004 : 29).
Kebijakan
pengampunan pajak dijalankan oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak. Pertimbangan yang dipakai adalah
bahwa dengan dilaksanakannya sistem perpajakan yang baru hasil reformasi di
bidang perpajakan tahun 1983.
Beberapa
prinsip yang dipergunakan dalam pengampunan pajak tahun 2004 tersebut adalah :
(Sofian Hutajulu, 2004 : 31)
a.
Diberikan terhadap wajib pajak badan dan orang pribadi, yang telah terdaftar
atau yang belum terdaftar;
b.
Atas pajak-pajak tahun 1983 dan sebelumnya yang belum pernah atau belum
sepenuhnya dikenakan atau dipungut dalam wujud kekayaan;
c.
Wajib pajak harus aktif untuk meminta pengampunan pajak dengan melengkapi
syarat administrasi agar pengampunan pajak tidak gugur dengan sendirinya;
d.
Laporan kekayaan dalam rangka pengampunan pajak tidak akan dijadikan dasar
penyidikan dan penuntutan pidana dalam bentuk apapun terhadap wajib pajak.
Kebijakan
pengampunan pajak tahun 1984 merupakan konsekuensi dari berubahnya sistem
perpajakan yang fundamental dan disadari terdapat situasi dimana ketentuan
perpajakan yang baru tidak mampu memungut pajak tahun –tahun sebelumnya (tidak
berlaku surut) dan sebaliknya ketentuan perpajakan yang lama telah diganti. Di
lain pihak diharapkan ketika wajib pajak memulai kewajiban perpajakannya dengan
menggunakan sistem perpajakan yang baru dengan asas self assessment.
Pengampunan pajak menjadi jembatan di antara dua situasi peralihan tersebut,
sehingga dapat dipahami sebagai solusi dari peralihan sistem perpajakan
tersebut (Sofian Hutajulu, 2004 : 31).