Shigat lafaz ijab kabul
Shigat jual beli lafaz ijab kabul
Ijab
dan kabul terdiri dari qaulun (perkataan) dan fi'lun (perbuatan). Qaulun dapat
dilakukan dengan lafal sharih (kata-kata yang jelas) dan lafal kinayah (kata
kiasan/sindiran). Lafal sharih ialah sighat jual beli yang tidak mengandung
makna selain dari jual beli. Misalnyaبعتك هذهلاالسلعة
بكذا (saya menjual kepadamu ini barang dengan harga
sekian), dan kemudian dijawab استريتها منك بكذا(saya membelinya dari kamu dengan harga
sekian).[1]
Lafal kinayah ialah lafal yang di samping menunjukkan makna jual beli juga
dapat menunjukkan kepada arti selain jual beli. Misalnya perkataan si penjual اعطيتك هذا
الثوب
(saya memberi kamu baju ini dengan baju itu) atau اعطيتك
تلك الدبّة بتلك (saya memberi
kamu binatang itu dengan itu). Lafal (اعطيتك) tersebut dapat mengandung makna
"jual beli" dan makna "pinjam meminjam." Apabila lafal
tersebut dimaksudkan jual beli, niat tersebut sah. Apabila lafal kinayah
tersebut disertai penyebutan harga, maka lafal kinayah tersebut menjadi lafal sharih.
Misalnya:وهبتك هذه الدار بمائة دينار(saya beri kamu rumah ini dengan uang
pengganti seratus dinar). الهبهdi atas
apabila tidak disertai penyebutan harga, maka menunjukkan makna hibah, tetapi
jika disertai penyebutan harga seperti di atas maka menunjukkan makna jual beli. Demikian juga
setiap lafal yang mempunyai makna tamlik apabila disertai penyebutan harga,
maka lafal tersebut menjafi lafal yang sharih.[2]
Adapun shighat berupa fi'lun (perbuatan) adalah berwujud serah terima yaitu
menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu perkataan pun. Misalnya:
seseorang membeli sesuatu barang yang harganya sudah dia ketahui, kemudian ia
(pembeli) menerimanya dari penjual dan dia (pembeli) menyerahkan harganya
kepada penjual, maka dia (pembeli) sudah dinyatakan memiliki barang tersebut
karena dia (pembeli) telah menerimanya. Sama juga barang itu sedikit (barang
kecil) seperti roti, telur dan yang sejenis menurut adat dibelinya dengan
sendirisendiri, maupun berupa barang yang banyak (besar) seperti baju yang
berharga.[3]
Shighat
berupa fi'lun (perbuatan) merupakan cara lain untuk membentuk 'akad dan paling
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sorang pembeli
menyerahkan sejumlah uang; kemudian penjual menyerahkan barang kepada pembeli.
Cara ini disebut jual beli dengan saling menyerahkan harga dan barang atau
disebut juga mu'athah. Demikian pula ketika seseorang naik bus menuju ke suatu
tempat; tanpa kata-kata atau ucapan (sighat) penumpang tersebut langsung
menyerahkan uang seharga karcis sesuai dengan jarak yang ditempuh. Sewa menyewa
ini disebut juga dengan mu'athah. Selanjutnya, dalam dunia modern sekarang ini,
'akad jual beli dapat terjadi secara otomatis dengan menggunakan mesin. Dengan memasukkan
uang ke mesin, maka akan keluar barang sesuai dengan jumlah uang yang dimasukkan.
Demikian juga, pembelian barang dengan menggunakan credit card (kartu kredit),
transaksi dengan pihak bank melalui mesin otomatis, dan sebagainya. Perlu
dicatat bahwa yang terpenting dalam cara mu'athah ini, untuk menumbuhkan akad
maka jangan sampai terjadi pengecohan atau penipuan.
Segala
sesuatu harus diketahui secara jelas; atau transparan. Suatu 'akad dipandang
berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam 'akad jual beli, misalnya,
'akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada
pembeli dan harganya telah menjadi milik sipenjual. Sedangkan 'akad dalam
pegadaian dan kafalah (pertanggungan) dianggap telah berakhir apabila utang
telah dibayar.[4]
Rukun
yang pokok dalam akad (perjanjian) jual-beli itu adalah ijab-kabul yaitu ucapan
penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya
ijab-kabul dalam transaksi ini merupakan indikasi adanya saling ridha dari
pihak-pihak yang mengadakan transaksi.
Transaksi
berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat saling ridha yang menjadi
kriteria utama dan sahnya suatu transaksi. Namun suka saling ridha itu
merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam dari manusia, yang tidak
mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan suatu indikasi yang jelas yang
menunjukkan adanya perasaan dalam tentang saling ridha itu. Para ulama
terdahulu menetapkan ijab-kabul itu sebagai suatu indikasi.[5]
عن ابي هريرة رضي
الله عنه عن النبي صلعم قال: لايفترقن اثنان الا عن تراض [6]
Artinya:
“Dari Abi Hurairah ra. dari Nabi SAW. bersabda: janganlah dua orang yang jual
beli berpisah, sebelum saling meridhai"(Riwayat Abu Daud danTirmidzi).
Ijab-kabul
adalah salah satu bentuk indikasi yang meyakinkan tentang adanya rasa suka sama
suka. Bila pada waktu ini dapat menemukan cara lain yang dapat ditempatkan
sebagai indikasi seperti saling mengangguk atau saling menanda tangani suatu
dokumen, maka yang demikian telah memenuhi unsur suatu transaksi. Umpamanya
transaksi jual-beli di supermarket, pembeli telah menyerahkan uang dan penjual
melalui petugasnya di counter telah memberikan slip tanda terima, sahlah
jual-beli itu.
Dalam
literatur fiqih muamalah terdapat pengertian ijab dan kabul dengan berbagai
rumusan yang bervariasi namun intinya sama. Misalnya dalam buku fiqih muamalah
susunan Hendi Suhendi dijelaskan bahwa ijab adalah permulaan penjelasan yang
keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam
mengadakan akad, sedangkan kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad
pula, yang diucapkan setelah
adanya ijab.[7]
Menurut madzhab Hanafi, ijab ialah sesuatu yang keluar pertama kali dari salah
satu dari dua orang yang mengadakan akad. Baik dari si penjual, seperti ucapan:
“saya menjual kepadamu barang ini” maupun dari si pembeli, seperti ucapan:
“saya membeli barang ini dengan harga seribu”, kemudian si penjual menjawab:
“barang itu aku jual kepadamu”. Sedangkan “kaul” ialah sesuatu yang keluar
kedua (sesudah ijab).[8]
Dalam
buku Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, terdapat penjelasan,
dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh penjual, sedangkan
kabul adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli.[9] Rachmat Syafe’i
dengan mengutip ulama Hanafiyah dalam redaksi yang berbeda dengan di atas
mengatakan: ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridaan
yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima,
sedangkan kabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab,
yang menunjukkan keridaan atas ucapan orang pertama.[10]
Dari
rumusan-rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ijab adalah suatu pernyataan
janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran
yang dilakukan oleh pihak pertama.
Dalam
hubungannya dengan ijab kabul, bahwa syarat-syarat sah ijab kabul ialah:
1.
Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeli diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya.
2.
Jangan diselangi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.
3.
Beragama Islam, Syarat beragama Islam khusus untuk pembeli saja dalam
benda-benda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama
Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli
tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang
orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin.
Menurut
fuqaha Hanafiyah terdapat empat macam syarat yang harus jual beli.[11]
Fuqaha
Malikiyah merumuskan tiga macam syarat jual beli: berkaitan dengan 'aqid,
berkaitan dengan sighat dan syarat yang berkaitan dengan obyek jual beli.
Syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a) mumayyiz, (b) cakap hukum, (c) berakal
sehat, (d) pemilik barang. Syarat yang berkaitan dengan shigat: (a) dilaksanakan
dalam satu majlis, (b) antara ijab dan kabul tidak terputus. Syarat yang
berkaitan dengan obyeknya:
(a) tidak dilarang oleh syara', (b) suci, (c) bermanfaat, (d) diketahui oleh
'aqid, (e) dapat diserahterimakan.[12]
Menurut
mazhab Syafi'iyah, syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a) al-rusyd, yakni
baligh, berakal dan cakap hukum, (b) tidak dipaksa, (c) Islam, dalam hal jual
beli Mushaf dan kitab Hadis, (d) tidak kafir harbi dalam hal jual beli
peralatan perang. Fuqaha Syafi'iyah merumuskan dua kelompok persyaratan: yang
berkaitan dengan ijab-kabul dan yang berkaitan dengan obyek jual beli.
Syarat
yang berkaitan dengan ijab-kabul atau shigat akad:
1.
Berupa percakapan dua pihak (khithobah)
2.
Pihak pertama menyatakan barang dan harganya
3.
Kabul dinyatakan oleh pihak kedua (mukhathab)
4.
Antara ijab dan kabul tidak terputus dengan percakapan lain,
5.
Kalimat kabul tidak berubah dengan kabul yang baru
6. Terdapat
kesesuaian antara ijab dan kabul
7.
Shighat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain
8.
Tidak dibatasi dalam periode waktu tertentu
Syarat
yang berkaitan dengan obyek jual-beli:
1.
Harus suci
2.
Dapat diserah-terimakan
3.
Dapat dimanfaatkan secara syara'
4.
Hak milik sendiri atau milik orang lain dengan kuasa atasnya
5.
Berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.[13]
Fuqaha
Hambali merumuskan dua kategori persyaratan: yang berkaitan dengan 'aqid (para
pihak) dan yang berkaitan dengan shighat, dan yang berkaitan dengan obyek
jual-beli. Syarat yang berkaitan dengan para pihak:
1.
Al-Rusyd (baligh dan berakal sehat) kecuali dalam jual-beli barang-barang yang
ringan
2.
Ada kerelaan
Syarat
yang berkaitan dengan shighat
1.
Berlangsung dalam satu majlis
2.
Antara ijab dan kabul tidak terputus
3.
Akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu Syarat yang berkaitan
dengan obyek
1.
Berupa mal (harta)
2.
Harta tersebut milik para pihak
3.
Dapat diserahterimakan
4.
Dinyatakan secara jelas oleh para pihak
5.
Harga dinyatakan secara jelas
6.
Tidak ada halangan syara.[14]
Seluruh
fuqaha sepakat bahwasanya jual beli bangkai, khamer dan babi adalah batal atau
tidak sah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Sabda Rasullullah SAW.
حدّثنا قتيبة الليث
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍعن جبربن عبدالله
رضي الله أنه سمع رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول وهو بمكّة عام الفتح أّن
الله ورسوله حرّم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام فقيل يا رسول الله أرأيت
ِحوك الميتة فأنّها يطلى بها السّفن ويدهن بها الجلود ويستصبح بها النّاس فقال
لأهو حرام (رواه البخاري)[15]
Artinya:
Telah mengabarkan kepada kami dari Qutaibah dari al-Laits dari Yazid bin Abi
Habib dari 'Atha' bin Abi Rabah dari Jabir bin 'Abdullah ra telah mendengar
Rasulullah Saw. Bersabda: tahun pembukaan di Makkah: sesungguhnya Allah
mengharamkan jualbeli khamer (minuman keras), bangkai, babi dan berhala"
Kemudian seseorang bertanya: "Bagaimana tentang lemak bangkai, karena
banyak yang menggunakannya sebagai pelapis perahu dan, meminyaki kulit dan
untuk bahan bakar lampu?" Rasulullah SAW. menjawab: "Tidak boleh,
semua itu adalah haram". (H.R. al- Bukhari)
Mengenai
benda-benda najis selain yang dinyatakan di dalam hadis di atas fuqaha
berselisih pandangan. Menurut Mazhab Hanafiyah dan Dhahiriyah, benda najis yang
bermanfaat selain yang dinyatakan dalam hadis di atas, boleh diperjualbelikan
sepanjang tidak untuk dimakan sah diperjualbelikan, seperti kotoran ternak.
Kaidah umum yang populer dalam mazhab ini adalah:
ان كل مافية منفعة
تحل شرعا فإن بيعه يجوز [16]
Artinya:
Segala sesuatu yang mengandung manfaat yang dihalalkan oleh
syara'
boleh dijual-belikan.
Dalam
Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, mazhab Hanafi[17]
menegaskan:
Artinya: Mereka berkata: Boleh menjualbelikan minyak yang terkena najis dan memanfaatkannya selain untuk makan. Sebagaimana boleh memperjualbelikan kotoran yang tercampur dengan debu dan memanfaatkannya dan kotoran binatang atau pupuk meskipun dia najis barangnya. Bahwasanya yang mereka larang adalah memperjual belikan bangkai, kulit bangkai sebelum disamak, babi dan arak.
[1] 2Abd
Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr
al-Fikr, 1972, Juz III, hlm.325
[2] Abd
Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al
Fikr, 1972, Juz III, hlm. 326
[3] Abd
Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr
al-Fikr, 1972, Juz III, hlm. 319
[4] Ahmad
Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII
Press, 2000, hlm. 65.
[5] Amir
Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 195
[6] Al-Imam
Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abi Daud, Kairo:
Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hlm. 324.
[7] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.
[8] Abd
al-Rahman al-Jaziri,, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar
al- Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 320.
[9] Muhammad
Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE,
2004, hlm. 155.
[10] Rachmat
Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 45.
[11] Wahbah
al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz, IV, Beirut: Dar al-Fkr,
1989, hlm. 149
[12] Ibid, hlm. 387 – 388.
[13] Ibid.,
hlm. 389 – 393.
[14] Ibid.,
hlm. 393 – 397ز
[15] Al-Imam
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al- Bukhari,
Sahih al-Bukhari, Juz 3, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 35.
[16] Muhammad
bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Jilid III, Cairo: Syirkah
Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 17.
[17] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1972, hlm. 137.