Syarat dan Rukun Jual Beli dalam islam
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Untuk memperjelas syarat dan rukun jual beli maka lebih dahulu dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi maupun terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,"[1] sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan." Menurut Satria Effendi M. Zein, bahwa menurut bahasa, syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda,[2]melazimkan sesuatu.[3]
Secara
terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung
adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu
mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti
pula adanya hukum.[4]
Hal
ini sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf, syarat adalah sesuatu yang
keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari
ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang
dimaksudkan adalah keberadaan secara syara’, yang menimbulkan efeknya.[5]
Hal senada dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu yang
menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti
tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum.[6] Sedangkan
rukun, dalam terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu
disiplin tertentu, di mana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu
sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu, di mana ia
merupakan bagian dari sesuatu itu.[7]
Sebagai
contoh, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. la merupakan bagian dari shalat
itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam shalat, maka shalat itu
batal, tidak sah. Salah satu syarat shalat adalah wudhu. Wudhu merupakan bagian
di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak sah.
Rukun jual beli ada tiga, yaitu aqid (penjual dan pembeli), ma'qud alaih (obyek
akad), shigat (lafaz ijab kabul).
1.
aqid (penjual dan pembeli) yang dalam hal ini dua atau beberapa orang melakukan
akad, adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad ialah:
a. Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang maka batal akad
anak kecil, orang gila dan orang bodoh, sebab mereka tidak pandai mengendalikan
harta, oleh karena itu anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh
menjual harta sekalipun miliknya, Allah berfirman:
(ولا تؤتوا السفَهَاء أَمْوَالَكُمُ...(
النساء: 5
Artinya:
Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh (al-Nisa: 5).
Pada
ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh diserahkan kepada orang bodoh,
'illat larangan tersebut ialah karena orang bodoh tidak cakap dalam
mengendalikan harta, orang gila dan anak kecil juga tidak cakap dalam mengelola
harta, maka orang gila dan anak kecil juga tidak sah melakukan ijab dan kabul.[8]
b.
Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam bendabenda tertentu,
seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam, sebab besar
kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam,
sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir
untuk merendahkan mukmin,25 firman-Nya;
وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً...(
النساء: 141
Artinya:
Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina orang
mukmin" (al-Nisa: 141).
2.
Ma'qud alaih (obyek akad). Syarat-syarat benda yang menjadi obyek akad ialah:
a.
Suci atau mungkin untuk disucikan, maka tidak sah penjualan bendabenda najis
seperti anjing, babi dan yang lainnya, Rasulullah SAW. bersabda:
حدثناقتبة حدثنا الليث عن يزيد بن ابى حبيب هن عطاء بن ابى رباح
عن جابر: انّه سمع رسول الله ص.م يقول ان الله حرم بيع الخمروالميتة
والخنزيروالاصنام فقيل يارسول الله ارايت شحوم الميتة فانه يطلى به
السقن ويدهب بها الجلودويستصبح
بها الناس فقال هو
حرم ثمّ قال
رسول الله ص.م عند ذلك قاتل الله اليهود ان الله لما حرم
سحومهاجملوه ثمّ باعوا
Artinya:
Dari Yaziz bin Abi Habib dari Ata bin Abi Rubah dari Jabir bin Abdillah ra,
sesungguhnya dia pernah mendengar Nabi SAW bersabda: sesungguhnya Allah
mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan patung berhala. Ditanyakan: ya
Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai karena ia
dipergunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan
penerangan oleh manusia? Beliau menjawab: ia adalah haram. Kemudian Rasulullah
SAW bersabda saat itu: mudah-mudahan Allah memusuhi orang-orang Yahudi.
Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka malahan mencairkannya
lalu mereka jual kemudian mereka makan harganya (HR.Bukhari)[9]
Menurut
riwayat lain dari Nabi dinyatakan "kecuali anjing untuk berburu"
boleh diperjualbelikan. Menurut Syafi'iyah bahwa sebab keharaman arak, bangkai,
anjing, dan babi karena najis, berhala bukan karena najis tapi karena tidak ada
manfaatnya, menurut Syara', batu berhala bila dipecah-pecah menjadi batu biasa
boleh dijual, sebab dapat digunakan untuk membangun gedung atau yang lainnya.
Abu Hurairah, Thawus dan Mujahid berpendapat bahwa kucing haram diperdagangkan alasannya
Hadits shahih yang melarangnya, jumhur ulama membolehkannya selama kucing
tersebut bermanfaat, larangan dalam Hadits shahih dianggap sebagai tanzih (makruh
tanzih).[10]
26.
.
23
b.
Memberi manfaat menurut Syara', maka dilarang jual beli benda-benda
yang
tidak boleh diambil manfaatnya menurut Syara', seperti menjual
babi,
cecak dan yang lainnya.
c.
Jangan dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti; jika
ayahku
pergi kujual motor ini kepadamu.
d.
Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan saya jual motor ini kepada
Tuan
selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah, sebab jual
beli
adalah salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi
apa
pun kecuali ketentuan syara'.
e.
Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat, tidak sah menjual
binatang
yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, barang-barang
yang
sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh kembali karena
samar,
seperti seekor ikan jatuh ke kolam, maka tidak diketahui dengan
pasti
sebab dalam kolam tersebut terdapat ikan-ikan yang sama.
f.
Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak
seizin
pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi
miliknya.28
g.
Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui
banyaknya,
beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran yang lainnya,
maka
tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu
pihak.
Ditinjau
dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam
Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk: ketiga bentuk jual beli
sebagai berikut:
1) jual
beli benda yang kelihatan
2)
jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan
3)
jual beli benda yang tidak ada.[11]
Jual
beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau
barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli, hal ini lazim
dilakukan masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar dan boleh
dilakukan.
Jual
beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam
(pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang
tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau
sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu
yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai
imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
Jual
beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang
dilarang oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga
dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang
akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2004, hlm. 966.
[2] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64
[3] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34
[4] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 50
[5] Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978, hlm. 118.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm
[7] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006, hlm. 25
[8] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 75
[9] Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz 2, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 29
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.72
[11] Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtishar, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 329.